Indonesia memiliki pulau
yang ribuan jumlahnya mulai dari Sabang hingga Merauke. Sebagian pulau tersebut
belum berpenghuni dan belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Untuk
menghubungkan pulau-pulau tersebut diperlukan alat transportasi yang cepat yang
tidak lain adalah pesawat terbang. Mungkin itulah salah satu yang memotivasi
negeri ini membangun industri perakitan pesawat terbang di Bandung.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa teknologi inti dari pesawat terbang adalah Engine (mesin pesawat) dan
Avionik (sistem elektronika). Tanpa keduanya pesawat tidak mampu untuk lepas
landas dari daratan. Indonesia merakit pesawat dengan cara patungan dengan
perusahaan CASA untuk membuat pesawat jenis NC-212 dan CN-235. Kedua jenis
pesawat terbang tersebut kebanyakan dipakai bukan untuk angkutan sipil
melainkan untuk keperluan yang lain semisal keperluan militer. ( Baca - Bandara Ahmad yani )
![]() | |
Pesawat N250 |
Untuk urusan mesin (mesin
propeller) dan avionik sudah barang tentu harus impor dari luar negeri di mana
dua komponen yang merupakan jantung dan otak sebuah pesawat itu sangat mahal
harganya. Sayangnya indonesia tidak mendesain strategi industrinya dengan
memulai dari pembangunan industri berat. Sehingga akibatnya meskipun saat ini
indonesia telah mampu ‘’membuat’’ pesawat terbang, namun faktanya tak lebih
dari merakit pesawat dengan teknologi inti yang harus impor. Akhirnya bisa
dibilang kalau kemampuan merakit pesawat kita masih sebatas teknologi kulit
(bukan inti).
Untuk membangun industri
dirgantara yang besar dan disegani maka diperlukan mindset yang benar yakni
dengan cara stop dari hutang dan mulai mengembangkan riset pembuatan mesin dan
avionik. Dalam hal utang luar negeri kita sudah cukup sekali saja terperosok di
lubang yang sama. Pengalaman gagalnya proyek pesawat N-250 dan N-2130 adalah
salah satu dari sekian bukti bahwa hutang luar negeri meniscayakan adanya
campur tangan asing dalam setiap kebijakan negara.
Lihat juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar